Matahari
Dia hadir kembali
Pada pagi
Petang
Senja
dan
Malam
Aku pernah mencintai Matahari pada siang yang begitu genit. Dia menatapku nakal. Menarik tubuhku, lalu membuat lingga dan yoni basah secara bersamaan. Peristiwa ini terjadi ratusan kali pada peradaban Jawa kuno. Dalam naskah-naskah kerajaan, aku tidak pernah diceritakan oleh para penyair. Maka, aku tidak pernah ada.
Ketika revolusi pecah, datang awan-awan dan arakan angin yang bergerak sangat cepat. Saat itulah hari kematianku, sementara itu Matahari terus berputar.
Puluhan tahun berganda tiba. Aku dapat melihat purnama lagi. Seketika itu pula, energi dan anggrek bulan tumbuh lebat dan hebat. Sampai Matahari mencium bauku, kemudian bergegas menjumpaiku … untuk kembali menciptakan dongeng yang tak pernah dituturkan. Untuk kedua kalinya, aku jatuh hati pada Matahari. Kemudian, untuk kesekian kalinya, aku mati.
Sekarang, era bahasa coding bercampur emoji dan potret manipulasi, raya di bumi layar. Dan, aku dibangunkan lagi oleh Semesta. Kali ini, aku harus menjadi Pagi yang selalu pagi. Pada pertemuan-pertemuan yang kuterbitkan, Matahari datang menyelinap di balik bulan sabit. Dia menjelma sebagai seorang pemuda berusia 20 tahun. Tapi aku mengetahuinya.
Saat menatap wajahku, dia tak tahan pada sinaran tubuhku. Senyumannya yang nakal datang menggoda. Beruntung, aku diselamatkan oleh sebuah karya bermuatan kehancuran yang indah. Namun, pagi menjadi panjang berlipat yang tak peduli waktu, pagi, siang, senja, dan malam … aku disiram kerinduan dahsyat.
Aku tahu pasti, aku akan kembali mati. Dan selanjutnya, aku akan kembali hidup. Mati yang dimatikan dan hidup yang dihidupkan oleh Matahari.
Jika Matahari masih berotasi, maka kuucapkan selalu “Selamat pagi buat kekasihku” pada setiap waktu.
O, Merah muda yang tak pernah padam oleh masa dan riwayat.
Photo by Artem Sapegin on UnsplashMatahri