Aku sering bertanya, aku ini terbuat dari apa, logam, air, debu, atau tumbuhan? Jangan kau bilang aku berasal dari dua manusia yang bersetubuh. Ada tiga kemungkinan alasan manusia bercinta: pertama karena nafsu; kedua, cinta; dan ketiga, cinta dan nafsu. Bukankah cinta dan nafsu itu sama? Belum tentu! Tapi, apa iya aku terbuat dari cinta dan nafsu?
Aku meyakini kedua mataku berasal dari bongkahan batu es yang berubah menjadi kaca. Rambutku tumbuh dari tetesan ter yang merembes ke segala ruang kosong dan menjalar begitu panjang dan panjang. Telingaku berasal dari bebatuan kapur yang padat. Hidungku terbentuk dari senyawa beragam yang memenuhi perut bumi.
Bibirku. Aku masih ragu. Pernah ada yang mengatakan bibirku terbuat dari kapas yang dipintal dengan tanah liat. Aku terbahak, berarti aku bisa saja berupa kain tenun. Aku mengabaikan omongan tersebut, anehnya aku selalu ingat.
Wajah, dagu, dan bagian tubuh lain, aku tidak pernah berhasil menerka. Berbeda dengan pohon beringin yang selalu bilang perutku terbuat dari sebutir lada. Bunga anggrek putih pernah berbisik, “kepalamu berasal dari semburan Gunung Merapi.” Seekor celeng malah mengaku pernah diceritakan oleh samudera tentang kedua kakiku. Katanya, sepasang kakiku adalah sepasang ikan. “Kamu tidak pernah belajar , tapi kamu pandai berenang sampai kedalaman laut yang paling dalam, tanpa menggunakan alat pernafasan dan kamu berenang di mana pun.” Begitu kata Si Celeng.
Suatu hari burung dara menghampiriku karena melihat aku akan menyantap hati ayam kecap yang lezat. “Hati yang terbuat dari salju, tidak mungkin melahap hati.”
“Tapi ini hati ayam, dan salju tidak punya organ hati,” tangkisku. Si Burung Dara malah tersenyum mendengar ucapan sekaligus ketukan nada suaraku.
Mengetahui aku terbuat dari banyak zat, lalu aku bertanya pada sang awan, “Berasal dari mana vaginaku?”
“Tanyakan saja kepada pria-pria yang menidurimu, mereka tahu sebab mereka merasakannya.”
‘Sayang, aku tidak pernah disetubuhi mereka!”
“Ah, aku lupa, kau adalah lukisan yang diberi judul Mahkota oleh pelukisnya.”
“Aku adalah lukisan mahkota?”
Awan menduga alasan aku diberi judul mahkota oleh seorang manusia. Sebab aku adalah ilusi Si Pelukis tanpa sepasang mata. Di antara kabut, binar, warna, simbol, cendawan, dan khayali, aku berdiri anggun di tengah, sendiri tapi tak terpisahkan.
Aku masih ada di dalam lukisannya. Aku juga ada di laut, persawahan, sungai, prosa, gubuk, museum, udara, ilmu pengetahuan, gejolak, bahkan masa. Yang sebenarnya aku adalah kehendak. Yang menciptakan Si Pelukis itu.
Dan saat ini, pada hari Nyepi,
aku bertanya kembali, “Aku ini terbuat dari apa? Jika makhluk hidup bahkan lukisan pun punya air mata, maka di mana air mataku?”
Menurut memori, aku tidak memiliki air mata, tapi aku merasa rindu