Di atas sana penuh bintang-bintang
Ada seorang pria yang sedang bernyanyi
Don’t you know you’re life itself …
Bajawa malam itu tak terukur senyumannya
Menerbangkan kebahagiaanya pada angin Barat …
Aku masih duduk di sini, di lantai dua, di cafe tua, di seberang sebuah bar kolonial, di langit perkebunan teh.
Aku membidik objekku dari bangku kayu, dari jarak jauh, dari remang ruang, dari dadu-dadu yang berserakan, dan dari angin yang tiba-tiba berhembus. Yang beberapa saat berhenti sejenak.
Klik. Kilatan-kilatan itu muncul mengejutkan, berwarna-warni menari jig, tak beraturan, ada yang bersama saling berbelit, ada yang sendiri melilitkan tubuhnya.
Kamu terbangun.
Langsung mengecup keningku, lalu aku mendengar suara mandolin mengelilingku sambil meninggalkan ciuman di seluruh organku.
Wangi semerbak pohon mengajakku keluar dari ruang, untuk berjalan-jalan di sepanjang perkebunan yang telah berubah menjadi Rinjani pada matahari terbit. Aku kelelahan mendaki namun ketika kulihat kabut-kabut dan puncak-puncak yang menakjubkan aku seperti kapas, terbang dan jatuh melayang dengan bahagia.
Malamnya,
Aku hinggap di tubuh bimasakti. Ada suara seorang pria bergumam, “Like a leaf clings
to the tree, oh my darling, cling to me, for we’re like creatures of the wind, wild is the wind, wild is the wind.”
Sejak saat itu, aku menangis setiap harinya, padahal aku tak lagi melihat pelangi yang menjadi cantik, tapi harus mengorbankan salah satu semesta.
…
Di atas sana penuh bintang-bintang
Cantik sekali
Aku menangis, tapi mataku tak basah
Dan aku jadi sering mendengungkan, “Syalala la la … syalala la la …”
*Dari perjalanan Bajawa – Ende, di mobil, dan latar belakang “Wild is the wind” – David Bowie* Kamu membangunkan aku sekian kalinya*