Ssst, Ada Apa di Toilet Wanita

BAB I              Sarah Oslen, Oh Sarah Oslen …

 

Di jalan, tak ada jam malam, para perempuan bekerja sangat keras

Sungguh tempat peleburan, di sudut sana menjual rock, para pengkhotbah berdoa pada Tuhan

Mencegat taksi gipsi, membawaku dari Harlem ke Jembatan Brooklyn

Ada yang akan tidur malam ini dengan kelaparan lebih dari kulkas kosong

Perkenalkan Toiletta. Gadis muda, energik, cerdas, putih, seksi. Profesinya adalah ‘menjaga toilet wanita’. Menjaga? Hohoho, lebih dari itu. Pastinya dia adalah seorang ‘pendengar’ yang baik. Orang-orang akan bercerita begitu saja kepada dirinya, tanpa sadar. Toiletta juga seorang penyimpan rahasia yang baik. Begitukah? Ya, we’ll see.

Pastinya Toiletta tidak sendiri. Sarah Oslen telah mendesain ruang kamar kecil perempuan, sebagus mungkin. Lantainya pun dipesan dari Italy, marmer. Lah, bukanya biasa kalau ubin itu bermarmer. Iya, tetapi ini  buat kamar kecil, tepatnya untuk para karyawan perempuan di satu lantai gedung tersebut.

Cermin besar mengelilingi ruangan itu. Rasanya harus dijelaskan detail bagaimana bentuk ruang kamar tecil itu. Ruangan itu berukuran 4 X 5 meter dan berbentuk hampir seperti huruf L, tetapi tidak begitu L. Pertama kali masuk ruangan itu, kita akan berjumpa dengan cermin. Si penilai penampilan setiap orang. Dan dia setia bersandar di tiap dinding-dinding ruangan. Oleh karena itu, ketika pintu dibuka, kaca panjang akan kita temukan berdiri gagah. Ups, cantik maksudnya. Belok kiri sedikit, kita akan melihat lagi kaca cermin besar dan lebar terpampang. Kita bisa sepuas-puasnya berdandan di cermin itu. Tapi jangan kaget, ya jika tiba-tiba ada suara yang mencela datang dari cermin itu.

Kursi panjang dari kayu beralaskan bantal, baru datang hari ini dan ditaruh di antara kaca rias dan ruang toiletnya.

“Janettt, Oh, Tuhan, pintu-pintu itu kapan datangnya?” Sarah panik melihat kamar kecil ini belum ada pintunya satu pun.

“E …, menurut perjanjian, pintu-pintu itu akan datang esok hari dari Indonesia,” Janet menjawab meringgis.

“Apaaaa? “ suara Sarah melengking keras.

Toiletta menutup telinganya. “Uh, ini perempuan kecil-kecil tapi teriakannya nyakitin kuping.”

“Huh, biar saja tidak ada pintunya. Setidaknya kasih kesempatan buat aku menggagumi diriku sendiri, ” dengan genitnya Toiletta bergaya di depan kaca yang jaraknya 2 meter itu.

“Ehem!”

“Sssttt …” Sarah terdiam dan menyuruh Janet untuk diam.

“Janet, kamu dengar sesuatu?” Tanya Sarah sambil berbisik.

Janet mengelengkan kepala. Malah Janet bingung kenapa dia disuruh diam.

Toiletta menutup mulutnya. “Ups, dia mendengarnya. Masa dia bisa dengar, sih? Ah, nggak mungkin,” kali ini Toiletta bicara dalam hati.

“Hmm, mungkin saya kurang tidur. Oke, Janet, kita urus soal pintu besok. Sekarang mana lampu-lampu sorot yang kupesan?” Sarah mencoba melupakan suara yang didengarnya tadi.

“E …  masih ada di kantor kita,” Janet gelagapan.

“Janetttttt … kamu bisa kerja nggak, sih? Please Janet, lusa klien kita sudah mau grand opening,” Muka Sarah memerah karena naik pitam.

“Janet kita nggak punya waktu banyak. Sekarang juga ambil lampu-lampu itu,” suara Sarah meninggi.

Toiletta menutup telinganya rapat.

Janet bergegas keluar dengan wajah pucat.

Sarah tampak kesal sekali. Sarah melirik ke cermin. Rasanya ingin sekali dia memecahkan cermin di depannya. Baru kali ini, Sarah punya assisten pribadi yang nggak karuan kerjaannya. Bentar-bentar lupa. Bentar-bentar gagap. Bentar-bentar … ah, capai rasanya bila disebutkan satu persatu kekacauan si Janet itu. Dan herannya, Sarah selalu saja punya rasa kasihan kepada Janet. Jika dia melihat ke mata Janet, ada sesuatu di sana yang membuat Sarah begitu dekat dengan Janet. Entah itu apa. Tidak ada waktu bagi Sarah Oslen mencari jawabannya. Mungkin seharusnya Sarah menyediakan waktu, mengapa dia merasa begitu dekat pada Janet. Padahal Sarah baru mengenal Janet 1,5 bulan ini. Ya, 1,5 bulan yang membuat Sarah jadi darah tinggi.

Tapi sekarang Sarah harus kembali konsentrasi ke pekerjaan. Dia berjalan dekat pintu masuk kamar kecil ini. Oh la la, bangku pesanan Sarah pun belum ada. Sarah menepok jidatnya. Mengapa satu bangku bisa ketinggalan. Wah, mungkin Sarah sudah ketularan penyakit lupanya Janet. Lalu Sarah teringat kembali, bangku satunya ada di depan pintu. Ya, tadi dia meninggalkannya di sana. Dasar! Tuh, benarkan ada. Oke, Sarah pindahkan sendiri bangku itu ke dalam. Nanti, di atas bangku ini akan ada dua lampu sorot yang menyinari dinding dan sinarnya akan sedikit mengenai bangku ini. Dan di bawah lampu sorot, Sarah ingin menaruh pot gantung berisi bunga Angrek. Rencananya setiap hari bunga Angrek itu akan berganti warna. Oh iya, Sarah harus membuat note ini buat cleaning service kamar kecil ini. “Bunga harus segar dan diganti setiap hari”, begitu kalimat yang tertulis di catatan Sarah.

Toilette tidak bisa melihat Sarah secara langsung, namun dia bisa melihat dari pantulan kaca. Sarah Oslen, wanita yang cukup cantik. Tinggi 176 cm dan berat kira-kira 58 kg. Wuih, ukuran ideal, pantas menjadi seorang model. Keningnya sedikit lebar, tetapi itu yang justru membuat Sarah terlihat pintar. Cerewetnya minta ampun, itu terlihat dari suaranya yang melengking tinggi ketika marah-marah. Mukanya sih nggak serem dan judes, tapi suaranya itu, loh yang nggak nahan. Hebatnya dia seorang designer interior yang banyak dicari di New York, bahkan sampai ke luar negeri. Gaya berpakaiannya cuek. Jeans, kemeja, rompi, dan perhiasan manik di kedua tangan dan leher. Biar cuek, tapi apa yang dipakainya ber-merk semua. Ya maklum, biaya menggunakan jasanya saja cukup tinggi. Apa yang dikerjakannya harus sempurna dan dia begitu detail. Mungkin memang begitu seorang designer interior itu.

Sarah berjalan dan duduk di bangku dalam sambil mengeluarkan sebungkus rokok menthol dari dalam tas. Kemudian dia berjalan lagi menuju ruang kecil dengan kaca transparan, ruangan khusus merokok. Nah, nggak ada, kan kamar kecil yang ada ruang buat nge-rokoknya – selain di kamar kecil lantai 19 ini. Ruangan ini hanya cukup menampung dua orang, jadi hanya dua orang yang boleh merokok di ruangan ini. Entah mengapa diijinkan fasilitas merokok di ruang kamar kecil. Barangkali permintaan dari perusahaan yang ada di lantai 19, yaitu perusahaan advertising yang juga punya nama di New York. Atau Sarah Oslen punya ide ini dan kliennya setuju. Bisa jadi direkturnya seorang perokok, tidak heran Ia memperbolehkan fasilitas merokok dalam ruangan ini. Biasanya ruang kecil buat merokok bukan di toilet dan terpisah. Toiletta jadi berdecak sendiri. Tanpa suara pastinya. Tentu pakai menggelengkan kepala.

Terdengar Sarah Oslen menelpon Janet untuk segera kembali ke gedung ini. Sarah berdiri dan menatap ruang yang berseberangan dari ruang merokok. Tepatnya, itu ruangan yang terbagi 2 bilik, khusus untuk ganti pakaian. Kacanya berwarna putih tapi tidak transparan, sehingga orang hanya bisa melihat bayangan saja. Hal ini juga jarang terdapat di toilet umum lainnya. Di tengah dua kamar ganti, ada cermin, meja, dan kursi, buat merias wajah. Sarah mendesain tempat merias ini diapit ruang ganti. Ruang rias juga ada di samping ruang merokok. Berada paling sudut ruangan. Barangkali sengaja ditempatkan di situ, buat merias sambil merokok, karena ruangan rias yang ini berpintu. Tidak seperti ruang rias yang satunya, tanpa pintu. Toiletta masih heran dengan ruangan rokok ini. Apa staf-staf di lantai ini perokok semua? Dan apakah mereka semua perokok berat sehingga dibuatkan khusus ruang merokok ini. Ya, lihat saja nanti.

Sarah keluar dari ruang rokok dan berjalan menuju kamar kecil. Dari ke empat toilet, Sarah memutuskan ke tempat Toiletta.

Toiletta berbicara,

O no … Sarah belum mematikan rokoknya. Okay, sekarang sudah. Yup, dia mencemplungkan rokoknya di tempatku. Dia buka penutup tubuhku bagian atas dan … plung ….

Uh, terasa pahit, mengenai dinding dalam tubuhku. ah, kenapa tidak dimatikan di ruangan sana aja, sih? Dasar!

Dia menutupku kembali. Dan duduk di atasku. Kali ini Sarah meraih cell phone dari tas Louis Vuitton-nya. Tangannya sibuk sekali. Tak lama dia mulai berteriak, “Shit!”. Aku kira Sarah sedang text messaging, ternyata dia main games! Aku berpangku tangan seraya memainkan jari-jari di pipiku. Ah, pipi yang mengemaskan ini.

Aku lirik wajah Sarah. Wow, warna mukanya berubah. Sebelumnya,  wajah Sarah tegang sekali. Sekarang, penuh senyuman. Ceria sekali garis-garis di mukanya. Bagaikan garis-garis itu turut bermain. Hmm, mereka senang. Ternyata, wanita ini penggemar games.

Bip … bip .. bip … IPhone berbunyi. Sarah tak peduli. Bip..Bip..Bip..bunyi lagi. Tetap Sarah tak peduli. Bip..Bip..Bip…tiga kali bersuara, lekuk wajah Sarah menurun, walau tidak drastis. Dan diangkat juga telepon itu.

“E … maaf aku kena tilang,” ucap suara dari seberang.

“Kena tilang? Bagaimana bisa? Okay, besok sajalah bangkunya dibawa. Ya sudah, kamu tidak usah ke sini, Janet. Besok saja. Ok, aku lagi sibuk. See you tomorrow, ya,” dan Sarah pun kembali bermain games.

Dua jam saja Sarah Oslen duduk dengan nyamannya. Masih di atasku. Dia tidak merasa pegal, tetapi aku yang pegal-pegal. Sepuluh orang saja yang seperti Sarah, pasti aku tidak betah. Aku bosannnn. Menemani orang yang bermain games. Seharusnya Sarah juga menyediakan perangkat games di toilet, supaya aku juga bisa bermain. Jadi mau duduk sepuluh jam pun, aku tak masalah!

Bip..Bip..Bip…Si IPhone kembali berbunyi. Kali ini langsung direspon oleh Sarah.

“Yes, Babe,” Sarah bersemangat.

“Hai Babe, sudah selesaikah?” suara pria. Suara pria yang enak didengar telinga.

“Yup. Berapa lama kamu sampai di sini?”

“Jalanan sedikit macet. Mungkin setengah jam lagi. Is it okay for you, Babe?”

“Sebaiknya kamu datang lebih cepat. Karena sejak pagi aku rindu padamu. Dan aku butuh pelukanmu segera mungkin,” ucap Sarah mesra.

Anehnya aku terkagum-kagum  suara pria itu. Pasti itu suami Sarah atau kekasihnya.  Ah, aku rindu suara seperti itu. Berbisik dan mendesah. Dan diakhiri mengecup telingaku. Ah ….

Aku jadi sibuk mengkhayal. Tak peduli apa yang dilakukan oleh Sarah sekarang.

Tak lama, Sarah memakai lipstik berwarna pink, menambahkan sedikit bedak dan perona wajah. Melepaskan rambut yang sedari tadi Sarah gulung. Rambut panjangnya pun bergerai indah.

“Wowww….”

Sarah kaget. Sarah mendengar suatu suara. Sarah terdiam.

Bukan Sarah saja yang terkejut. Toiletta juga terkejut. “Suara apa itu?” tanya Toiletta dalam hati.

“Siapa yang berbicara?” pandangan Sarah mengelilingi ruangan kamar kecil ini. Rasanya hanya dia yang berada di ruang ini. Tidak ada orang lain lagi. Sarah mulai merinding. Dia raih tasnya dan kedua kakinya segera berjalan cepat, keluar dari ruang ini.

Dua bola mata Toiletta menari ke kanan dan ke kiri. Mencari sosok yang mengeluarkan satu kata. Lalu bola matanya bergerak ke atas dan ke bawah. Ih, tidak ada orang sama sekali di ruang ini. Tapi mengapa ada suara itu. Suara yang tak lagi muncul. Diam karena keceplosan.

*****

Pagi abu-abu. Dingin. Angin menusuk. Bersembunyi di balik tebalnya jaket panjang. Berjalan melewati blok-blok. Langkah cepat. Seperti biasanya. Biar di musim panas atau musim dingin, semua orang berjalan cepat. Berkejar-kejaran dengan kereta. Tepatnya mengejar waktu. Padahal waktu tidak ke mana-mana. Tetap 24 jam. Bagusnya mereka punya pikiran untuk meminimalisasikan waktu. Dipergunakan dengan hemat, agar semua berjalan tak percuma.

Sarah melesat seperti kereta api. Dari satu blok ke blok lainnya. Walau sempat berhenti di kios koran. Menyambar coffee dari tangan seorang barista yang setia menanti di depan café. Menghampiri toko bakery ‘Noah’s, mengunyah sedikit roti gandum yang paling enak sedunia. Bertegur sapa dengan Brandon, lawyer muda tampan, tepat di penyeberangan jalan. Sedikit berbicara dan sedikit sok tahu tentang hukum. Bagi Sarah apa pun pembicaraannya, sesulit apa pun, selalu menyenangkan berbicara bersama Brandon. Paling di benak Sarah hanya protes, “Mengapa aku dilahirkan lebih dahulu?”

Ketika jarum jam menunjukan 08.20, Sarah mempercepat sedikit langkahnya. Tangan kanannya memegang kap kopi. Tangan kirinya membawa tas kerja plus bungkusan roti gandum. Pandangannya tetap lurus ke depan. Tidak ada waktu lagi untuk bersapa, apalagi melirik. Sarah langsung menuruni tangga menuju subway. Wah, sebentar lagi dirinya bertemu Daniel. Ah, Daniel yang akhir-akhir ini mewarnai hidupnya. Semarak. Indah. Berdenyut. Manis. Bahagia. Dan setumpuk hampa dua tahun lalu, dengan mudah sirna. Hilang ditelan bumi. Dimakan para samudera. Perpisahan Sarah dan suaminya, dua tahun lalu, telah membuat Sarah terpuruk. Jatuh. Tak berdaya. Kesepian. Dan hampa. Dalam waktu empat bulan, Sarah sudah melupakan perceraiannya. Tidak mengubris lagi tentang cintanya yang dimakan oleh samudera di dalam mimpinya.

Tak lama sosok Daniel sudah ada di depan mata Sarah. Dari jarak 10 meter, langkah Sarah terhenti sebentar. Sarah tersenyum menatap Daniel. Matanya menyipit memperhatikan sosok Daniel. Sarah baru menyadari Wajah Daniel tak jauh beda dengan Pierce Brosnan. Sungguh. Mirip sekali. Rambut Daniel saja berombak tebal, persis Pierce Brosnan. Belum lagi rambut di kedua sisi pipi Daniel yang belum tercukur. Bagi Sarah, itu membuat Daniel tampak lebih tampan dan lelaki. Senyum simpul Daniel, seperti suatu perampokan tak berencana. Datang mengendap, diam-diam, tanpa permisi dan berhasil sukses mengambil harta cinta milik Sarah. Dua tahun. Dua tahun sendiri, itu lama, kawan! Perampokan hati ini begitu rela plus ikhlas diterima oleh Sarah. Disambut dengan meriah. Sangat meriah. Hey, Heleluyah…Sarah tak sendiri lagi. Sarah tak lagi sendiri berjalan di kota New York ini.

Senyum Daniel merekah. Segar sekali.

“Hey sayangku. Duniaku,” Daniel begitu gembira.

“Hey, Babe. Pembobol hatiku,” Daniel tersenyum mendengar ucapan Sarah seraya mengecup kedua pipi Sarah dan bibir tebal Sarah yang sexy itu.

Dalam hitungan detik kereta subway muncul di hadapan mereka. Sarah dan Daniel langsung naik.

Masih seperti kemarin, kereta selalu ramai penuh sesak. Namun keramaian ini justru dimanfaatkan Daniel dan Sarah untuk saling memberi mesra. Dan sempat-sempatnya Sarah menyuapi roti kandum, yang dibawanya tadi ke mulut Daniel. Tak masalah berdempet pun kemesraan bisa timbul. Itu tergantung pasangan masing-masing, mungkin begitu menurut mereka berdua.

Orang-orang di satu gerbong kereta bersama Sarah dan Daniel, tidak peduli pemandangan ini. Yakin, tidak semua yang tidak perduli. Beberapa memperhatikan, kemudian, “Terserah!” kata isi otak mereka. Beberapa memperhatikan, lalu, “Ah, seandainya saja ….” ucap mereka sambil memelas. Beberapa dari mereka sebodoh amat, hal seperti ini sering terjadi, bahkan di jalanan pun mereka sering menemukan. Di setiap kepala manusia pasti mempunyai ucapan-ucapan berbeda mengenai kemesraan di depan umum, namun semuanya memberikan kesimpulan yang tidak berbeda. Barangkali sang kereta pun sirik melihat keintiman seperti ini dan merencanakan adegan mesra nanti malam apabila stasiun mempertemukan kedua kereta di dua jalur yang bersampingan. Bisa dikatakan tak hanya manusia saja punya rasa sirik, semesta pun punya rasa sirik ini.

Sekarang Sarah dan Daniel sedang minum kopi di cup yang sama. Sehabis meneguknya, mereka saling tersenyum. Tersenyum lagi? Ya, mereka tidak bosan-bosan untuk tersenyum terus. Setelah tersenyum, kemudian bercumbu. Bercumbu yang sebentar-sebentar, tetapi dilakukan dengan penuh perasaan. Hmm, ini indah. Mungkin kenikmatanya melebihi rasa kopi dari kedai kopi terkenal di kota ini.

Biarkan. Biarkan mereka melakukan hal itu-itu saja. Yang terpenting tidak menganggu orang. Jika ada yang terganggu, ya, tutup mata saja. Biarkan, sepasang insan ini memadu kasih. Biarkan kedua orang yang berusia sama , 40 tahun, cecintaan kembali. Yang satu duda. Yang satu janda. Tidak ada yang salah mengenai ini,’kan? Ya, biarkan mereka serasa dunia menyetujui hubungan mereka. Biarkan pagi tersirami kecupan mereka yang menumpahi kelopak bunga. hingga sang bunga semakin muncul merekah mengisi pagi. Dua orang yang sebelumnya, hidup dengan hampa, kini mereka hidup kembali. Apakah ada yang protes mengenai ini? Sebaiknya jangan! Biarkan saja. Ya, biarkan.

Kereta berhenti. Beberapa penumpang turun, termasuk Sarah dan Daniel. Mereka pun berpisah sebelum keluar dari stasiun

*****

“Daniel tampan?

“Dasar perempuan aneh, lelaki seperti itu ada lebih dari jutaan menumpuk di New York. Dan terus terang Daniel itu sama sekali tidak mirip Pierce Brosnan. Apanya yang mirip?

“Bingung, mengapa Sarah itu bisa menyamakan Pierce Brosnan dengan Daniel?

“Pierce Brosnan itu tampan, sedangkan Daniel itu biasa saja. Asli biasa!

“Dasar manusia, kalau sedang jatuh cinta, mata mereka mendadak buta.

Kereta seri 56 C mengelengkan kepalanya, “Ada-ada saja. Setiap hari pasti ada yang aneh dan yang lucu. Ckckckck.”

“Wait, pembobol hati? Mungkin hati sarah itu berbentuk ATM dan berisi banyak dollar. Hahaha..Sarah…Sarah..” Seri 56 C tertawa keras sambil meluncur dengan kecepatan tinggi.

*****

Sarah dan Janet kembali berada di ruang kamar kecil lantai 19. Lampu-lampu masih rapi di dalam kardus. Pintu-pintu juga sudah datang dan masih terbaring di luar ruang kamar kecil. Ruang toilet ini juga sudah bersih untuk dikenakan dan juga sudah siap untuk dikotori kembali.

Dua   lelaki bertubuh besar siap membantu Sarah, memasang lampu. Mereka baru datang dan siap menerima tugas dari sang bos, Sarah.  Dua lelaki lagi sedang menuju kantor ini, untuk memasang pintu di ruang kecil ini.

Sarah membuka kotak besar berwarna putih satu per satu. Dia segera memberi petunjuk kepada dua lelaki itu.

“Jack, kamu pasang lampu sorot putih di tiap kamar toilet. Ingat taruh di atas lukisan,” telunjuk Sarah mengarah ke tulisan warna putih yang tertera di kotak. Sengaja, agar Jack selalu memeriksa kotak-kotak itu lebih dahulu.

“Peter, perhatikan ya, untuk ruang rokok ada dua lampu, ungu dan putih,” kali ini tangan kanan Sarah ke arah ruang rokok.

“Dan untuk ruang ganti satu lampu tiap biliknya dan warnanya kuning telur, tetapi lampu atasnya tetap pakai lampu putih, ya, Pete,” lanjut Sarah sambil berjalan menuju ke ruang ganti.

“Untuk kursi panjang antara toilet dan cermin, pasang lampu sorot sesuai dengan permintaan aku, yah.

“Lampu pertama putih, menghadap cermin, kedua menghadap toilet, selang-seling saja.

“Lampu kedua warna pink, ketiga, ungu, keempat biru, kelima oranye, keenam merah,” Sarah tersenyum membayangkan warna lampu sorot yang warna-warni ini.

“ And you can do it now,” ucap Sarah kepada Jack dan Pete.

Toilette diam membayangkan warna-warni lampu sorot di ruangan ini. “Mengapa tidak sekalian saja tambah laser dan musik disko,” sambar Toiletta dalam hati.

Dua lelaki untuk memasang pintu akhirnya datang juga. Tanpa basa-basi Sarah langsung menyuruh mereka berdua.

“Pintu yang paling besar, tentu diletakan di pintu masuk. Sisanya letakan di buat pintu toilet. Okay, Saya dan Janet mau keluar sebentar. Jika ada pertanyaan, telepon saya saja, ya,” Sarah mengenakan jaketnya dan berjalan keluar bersama Janet.

Yakin Sarah benar-benar pergi dari ruangan ini, Pete lansung menunjukan sesuatu di ruang rokok kepada Jack.

“Jack, coba kamu baca note di asbak ini,” Pete menyerahkan pada Jack.

Jika memasukan rokok lebih dalam ke asbak ini, rokok seketika langsung mati. Dinding asbak ini terdapat kelembab yang tinggi. Namun akan lebih baik Anda mematikan rokok dengan benar.”

“Yuk, kita coba sekarang,” ajak Jack. Dua lelaki seksi pintu mendengar hal itu dan mengerubungi Pete dan Jack.

“Tunggu, kita harus mencobanya di ruang rokok. Lihat alat detektor asap ada di tengah ruangan ini, sedangkan di ruang rokok ada alat penyedot asap,” ucap Pete.

“Okay, berarti di ruang rokok benar-benar bebas ya mengeluarkan asap sebanyak mungkin,” Jack tertawa kecil.

Mereka berempat segera uji coba di ruang rokok. Pete menyalakan rokok sebatang. Pete hanya mengisap dua kali, kemudian rokok itu dimasukan lebih dalam ke asbak yang tingginya sekitar 10 sentimeter. Dan Pete mengambil rokok itu kembali. Benar, rokok itu mati. Hanya beberapa detik saja. Mereka terkesima.

“Wow, di mana Sarah mendapatkan asbak seperti ini?” Tanya salah satu dua lelaki seksi pinntu.

“Dan hanya di lantai ini yang ada ruang rokoknya, di kamar kecil lagi.,” sambung Jack.

“Sarah Oslen memang hebat!” ucap mereka serempak. Apalagi desain lampu sorot yang berwarna-warni. Jarang Sarah memberi lampu sorot yang banyak di ruang kamar kecil. Mereka tahu betul Sarah Oslen, secara mereka bekerja sama denganya cukup lama. Mereka pun maklum, bila desain Sarah terlihat lain, menyentak terkadang nyentrik dan selalu fresh ide-idenya. Mereka pun sedikit tahu tentang kehidupan pribadi ini. Sarah punya kekasih baru, pasti lampu warna-warni ini efek dari kisah cintanya yang baru ini. Ya, mereka maklum sekali dan sangat tahu siapa itu Sarah Oslen. Tidak heran, selain telah lama bekerja dengan Sarah, mereka juga teman-teman Sarah dari SD hingga SMP. Jadi, mereka tahulah Sarah Oslen itu. Dan jangan salah menerka mereka berempat. Meski mereka menerima perintah dari Sarah, namun masing-masing dari mereka punya anak buah sendiri. Bahkan ada yang punya usaha kontraktor sendiri, seperti Jack. Sarah hanya mau bekerja dengan yang professional, jika tidak, kerut-kerut di wajahnya pasti sudah  muncul di wajahnya sejak dulu.

*****

Setelah dua jam, Sarah dan Janet kembali ke ruang kamar kecil ini. Pintu pertama telah terpasang. Sarah membukanya. Dan ruangan gelap. Sarah terkejut luar biasa. Tidak biasa keempat lelaki itu meninggalkan pekerjaan sebelum bertemu Sarah lebih dahulu. Sarah meraba dinding sebelah kiri. Ada tombol buat menyalakan penerangan. Lampu pertama dekat pintu pertama pun menyala. Namun, ruangan masih belum terang. Janet mengikuti Sarah dari belakang. Janet takut berbuat salah, jadi dia biarkan Sarah yang ambil alih. Sarah berjalan pelan mencari tombol di sebelah cermin panjang, setelah menemukannya, Sarah menekan tombol itu. Lampu-lampu di ceiling ruangan ini menyala semua, terkecuali lampu-lampu sorot.

Sarah menengadah ke atas. Lampu-lampu sorot memang sudah ada di tempatnya, tetapi mengapa keempat lelaki itu pergi begitu saja. Sarah berpikir ini aneh. Sarah pun memencet tombol di sebelah kanan cermin. Lampu-lampu itu pun menyala begitu meriah dan Sarah terpaku mendengar suara Alicia Keys. Suara Alicia Keys yang muncul bersamaan dengan lampu-lampu sorot itu menyala.

On the avenue, there ain’t never a curfew, ladies work so hard. Such a melting pot, on the corner selling rock, preachers pray to God. Hail a gypsy cab, takes me down from Harlem to the Brooklyn Bridge. Some will sleep tonight with a hunger for more than an empty fridge. I’m gonna make it by means, I got a pocket full for dreams, Baby I’m from New York.

Sarah tak berkutik, Janet pun terkagum-kagum. Sarah tak menyangka lampu sorot itu bergerak ke kanan – ke kiri, ke depan – ke belakang. Dengan hitungan dua menit, lampu itu akan bergantian untuk bergerak ke sana-ke mari. Ini kejutan yang amat menyenangkan bagi Sarah. Bagaimana tidak, Sarah tidak pernah menyuruh teman-temannya itu untuk melakukan sesuatu pada lampu sorotnya. Mereka berinisiatif mengatur hal itu, senang hati Sarah atas apa yang telah dilakukan teman-temannya itu.

“Ruangan ini jadi hidup. Sangat hidup,” Sarah terkesan.

Dengan jalan berjingkat keempat lelaki itu mengejutkan Sarah. Mereka semua saling mencium pipi Sarah dan memeluknya. Janet pun tidak ketinggalan dipeluk oleh mereka. Jack membawa botol wine, sedangkan Pete dan lainnya membawa gelas.

“Surprise!” teriak Pete.

“Kamu pasti tidak memperhatikan, bahwa lampu sorot itu bisa diatur sedemikian rupa untuk bergerak sesuai keinginan kita. Kamu memang tidak minta lampu yang seperti ini, tapi Fay pemillik toko lampu itu, sengaja tidak memberitahumu,” penjelasan Pete membuat Sarah melongo.

“Karena Fay ingin memberikan kejutan pasti,” senyum Sarah semakin melebar.

“Dan wine ini menyempurnakan kejutan dari kalian. I love you, guys!” Sarah kembali memeluk dan disambut oleh pelukan keempat lelaki dan Janet.

Di antara ‘bersatunya’ mereka, lampu-lampu sorot warna – warni, pintu-pintu gagah yang baru terpasang, tidak ketinggalan wajah Toiletta yang beberapa menit bisa berubah menjadi pink. Lalu beberapa menit kemudian berubah menjadi biru, ungu atau lainnya. Warna pink-lah yang paling disukai oleh Toiletta. Pipinya akan tampak imut atau seperti setelah dicubit, memerah mengemaskan.

“Toast.” mereka semua mengangkat gelas ke udara. Suara dentigan gelas bermain di ruang ini. Lagu ‘New York’, Alicia Keys tetap mengalun meramaikan suasana. Pesta kecil ini sengaja diatur oleh mereka berempat dengan menampilkan lagu ini. Mereka ingat betul kalimat yang selalu diucapkan oleh Sarah ketika baru sampai di kota New York ini. Satu kalimat yang mampu membuat keempat lelaki itu bersemangat dan bertahan hidup di kerasnya kota ini. Satu kalimat, yaitu “If I can make it here, I can make it anywhere”.

“Kamu dengar Sarah lirik lagu ini?” tanya Frans, salah satu dua pria seksi pintu.

“Tentu, If I can make it here, I can make it anywhere, that’s what they say, inikan semboyanku,” ingatan Sarah meloncat ke masa lalunya. Kedua bola matanya mulai berlinang.

“Sekarang kamu telah membuktikannya. Di mana pun kamu berada dan dalam situasi sesulit apa pun, kamu tetap bisa bertahan,” sekali lagi Jack memeluk Sarah.

Air mata Sarah tumpah membasahi pipi. Dia ingat betul datang ke kota ini sendiri. Dua tahun kemudian, baru Jack dan Pete mengikuti langkahnya. Di kota ini, Sarah tidak kenal siapa-siapa. Dia bekerja siang dan malam untuk membiayai kuliah sendiri dan biaya hidup di kota ini. Keluarga Sarah bukan keluarga kaya, namun sekarang Sarah kaya raya. Apa yang dicita-citakan tercapai. Kerja keras dan mental baja, terpasung di jiwa Sarah, tidak heran dia benar-benar bertahan. Benak Sarah jadi melebar ke masa-masa sulitnya. Di mana, Sarah hanya mampu membayar sewa apartemen harga murah dan lingkungan sekelilingnya sangat menyeramkan. Kegiatan kriminal ada di mana-mana. Suara sirene mobil polisi tiap setengah jam berbunyi. Setiap pulang ke apartemennya Sarah selalu digoda oleh pemuda-pemuda di lingkungan itu. Tidak jarang mereka memaksa Sarah memberikan uang kepada mereka. Tidak jarang pula, Sarah pura-pura tidak melihat tiap transaksi kejahatan terjadi di blok dekat apartemennya.

Belum lagi persaingan dunia interior yang tidak mudah begitu saja. Orang-orang yang berkecimpung di dunia ini, rata-rata memilki seni yang tinggi dan hasil karya mereka banyak yang mengagumkan. Di sini Sarah harus bersaing ketat. Awalnya bekerja di perusahaan orang dan pernah difitnah mengambil gambar orang lain oleh rekan kerjanya sendiri di perusahaan itu. Gara-gara itu nama Sarah sempat jelek. 6 bulan saja Sarah membuktikan pada dunia, bahwa dia benar-benar seorang talented, berkualitas dan memiliki gambar yang bagus. Sarah memilih keluar dari perusahaan itu. Kemudian dia bekerja di perusahaan lain, justru persaingan bertambah berat dan sadis. Pesaing-pesaingnya itu kebanyakan pria. Tepatnya, pria yang menyukai pria. Mereka lebih judes daripada perempuan. Sikut-menyikut gaya mereka pun lebih pedas. Ucapan kedengkian mereka bisa lebih amat menyakitkan dibanding ucapan mantan pacar kalian. Hal inilah yang sempat membuat Sarah mundur selangkah. Dia pernah berniat menganti profesi akibat hal ini. Sarah merasa tidak berbakat dan bukan bidangnya lagi. Tapi Sarah selalu ingat, “If I can make it here, I can make it anywhere”. Akhirnya, Sarah membuka usaha sendiri dan berhasil.

Setahun setelah membuka usaha, Sarah menikah dan kemudian bercerai setelah menikah 15 tahun lamanya. Satu lagi masa sulit yang dihadapi Sarah. Tidak mudah  bagi Sarah, melupakan mantan suaminya. Masa-masa kegamangan itu dijalani Sarah sendiri. Kesepian, gundah gulana, tak percaya diri, terkikis kepercayaan pada lelaki, pembagian harta, pengasuhan anak, dan segala tetek bengek setelah perceraian. Sesukses apa pun wanita berkarir, bila mengenai cinta yang patah, bukan hal mudah untuk berdiri kembali. Di sinilah kemampuan seorang wanita diuji. Bagaimana wanita membuang segala rasa yang menghancurkan hatinya. Bagaimana wanita berdiri tanpa lelaki. Bagaimana wanita berusaha tampil tersenyum di depan anak mereka. Bagaimana wanita berusaha bertahan di kehidupan seorang diri.

Sarah Oslen … Oh Sarah Oslen ….

Ruangan ini bagaikan sebuah kapal yang berlayar di negeri Sarah. Sebuah negeri yang banyak bercerita. Mereka seperti bertutur, “Bacalah aku, ikuti riwayatku, niscaya kisahku tak akan bosan menemani perjalananmu”. Ombak laut yang tak menentu, serasa meninggalkan jejak di tangan sang angin. Berdiri atau berenang ikuti petunjuk angin.

Toilette terbuai oleh suasana di ruang kamar kecil ini. Rona-rona yang keluar dari wajah mereka, menghadirkan sebuah kisah Sarah Oslen. Kisah mengenai apa sebenarnya tujuan hidup. Menggapai kebahagiaan? Itu pasti.

*****

Hari ini sebuah kebahagiaan hadir di tengah ruang kamar kecil. Sarah, Janet dan keempat lelaki itu, tenggelam bersama botol-botol wine dan vodka-yang diselipkan Pete saat Sarah dipeluk Jack. Mereka tidak lagi duduk di kursi panjang, melainkan di bawah lantai. Posisi duduknya pun tidak teratur. Dan mereka semua dalam keadaan mata terpejam, alias tertidur. Saat ini baru menunjukan pukul 16.00, namun mereka sudah ambruk, tak sadarkan diri.

Mata Toiletta sayup-sayup memandangi suasana di depannya ini. Toiletta jadi mengikuti mereka. Tertidur.

“Whoaam …”

 Mirrorya melotot.

“Whoammm, wuh berat sekali mataku,” Pintuna meluruskan badannya dan mengusap kedua matanya.

 Pintuna menatap manusia-manusia berwajah ‘bule’ di hadapannya. “Aha, aku sudah sampai di America. Olala, Amerika….” Pintuna girang.

“Ssssttt…”

Pintuna tersentak. Matanya langsung menatap cermin. Perasaan Pintuna, suara ‘ssssttt’ itu berasal dari cermin. Ya, benar, tidak mungkin Pintuna salah. Pendengarannya itu amat kuat, jadi tidak mungkin salah.

“Ehem.” Pintuna mencoba memancing agar suara itu muncul kembali.

“Sssttt, diam. Mereka semua terlelap, jangan sampai terbangun karena mendengar suaramu,” bisik Mirrorya.

Pintuna bengong menatap cermin. “Ups, maaf. Saya baru bangun.”

“Ya, aku tahu. Kembali tidur saja lagi,” suruh Mirrorya.

“Mataku sekarang sudah terang. Di Indonesia sekarang Subuh alias pagi,” Pintuna memberi tahu dan sebodoh amat dengan ucapan Mirrorya.

“Uh, dasarrr!” Mirrorya kesal.

“Hmm … tunggu, siapa itu yang bicara,” Toiletta terbangun.

Pintuna langsung membalikan badan. “Wow,” satu kata kagum menatap sebuah toilet.

“Duh, berisik sekali,” ucap Sarah pelan dengan mata yang masih terpejam.

“Ssssstttt,” Toiletta dan Mirrorya serentak.

Yang terjadi kedua mata Sarah sontak terbuka. Dia terbangun dan kaget sekali, melihat dirinya dan teman-temannya tertidur karena minum wine. Sarah jadi bertanya, “Siapa yang baru saja bicara?” Seketika, Sarah kabur dari ruangan ini.

Di luar ruang kamar kecil, “Tunggu, bisa jadi tadi aku bermimpi. Tapi kenapa jelas betul ya suara-suara itu,” gumam Sarah dalam hati.

Sarah kembali teringat, bahwa di sini adalah kota New York, suatu kota yang masih banyak menyimpan misteri. Dan banyak dari misteri itu, tidak terungkap! Dan tidak sedikit, roh-roh yang masih terbang melayang di atas tanah kota ini.

Sarah mempercepat langkahnya. Tidak perduli lagi dengan keadaan teman-temannya di kamar kecil itu.

BAB II             Toiletta, Mirrorya, Pintuna, dan …

 

Saat ini pukul 20.00. Teman-teman Sarah telah tersadar dan beranjak dari kamar kecil ini. Lantai 19 sepi. Tapi tidak di ruang kamar kecil. Apalagi setelah mengetahui manusia-manusia itu telah pergi dari ruangan ini, para penghuni ruangan ini bersiap-siap mengadakan pertemuan. Setelah peristiwa tadi sore, Toiletta tidak bisa tinggal diam. Toiletta harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Suatu keajaiban bagi saya bisa mendengarkan suara kalian,” Toiletta membuka forum seraya melirik cermin dan pintu.

“Hohoho, kamu kira hanya kita bertiga saja yang bisa saling komunikasi. Eh, lampu bersuara, dung” teriakan kecil dari cermin mengejutkan lampu. Toilette terdiam, menanti apakah yang dikatakan sang cermin itu, benar adanya atau tidak.

Namun, lampu tetap cuek dan enggan bersuara.

Cermin berusaha kembali dengan menyolek sang lantai,”Hey Marmer, tunjukan suaramu”, tapi sang Marmer lagi terlelap dan tak ingin diganggu.

Toilette menaikan pelipisnya, “See, hanya kita bertiga,’kan?” Toiletta masih tak percaya perkataan cermin.

“Oh, kamu tidak percaya padaku. Aha, ternyata kamu kurang peka. Coba, deh ,kamu buat keributan. Yang ramai sekali, pasti suara mereka keluar,” cermin meyakinkan Toiletta.

“Okay, akan aku coba,” sahut Toiletta cepat. Tanpa dipandu Toiletta membantingkan permukaan tubuhnya yang paling atas.

“Cukup, nona. Rasanya kamu butuh bantuan aku,” Sang pintu turut membantingkan tubuhnya, kencang.

Toilette :

Prank…Prang…Prang…Prang..Prang…

Pintu:

Buk… Buk…Buk…Buk…Buk…

Cermin:

Bernyanyi keras, New Yooooorkkkk, These streets will make you feel brand new , big lights will inspire you, hear it for New York, New York, New Yooooork

Marmer, sang lantai:

Tubuhnya bagai dikejutkan arus listrik bertegangan tinggi. Mulut Marmer, megab-megab. Matanya melongo ke kanan dan ke kiri. “Lagi kiamatkah?” tanyanya polos.

Toiletta menoleh ke lantai. Terkejut. Ada kebahagiaan yang hadir dari hati Toiletta.

Lampu:

Meloncat mendengar kebisingan. Seraya menutup telinga, “Gilaaa, kalian sudah gila!” umpatnya.

Toiletta:

Aha, akhirnya. Ayo, siapa lagi? Mungkin asbak, tempat tissue, tissue, gantungan baju, gantungan tas, vas bunga, tempat sabun. Wah, ternyata kita ramai, kita bisa buat arisan setiap bulannya.

Lampu:

Ini sudah malam. Dan aku tidak berminat untuk kegiatan seperti itu. Lagi pula aku sudah ditakdirkan sebagai penerang. Dengan menyinarkan cahaya bagi manusia dan bumi, ini telah membuatku bahagia dan puas di kehidupan ini. Aku tidak perlu banyak cerita. Cukup manusia dan alam yang bercerita, karena toh aku pun bagian dari cerita tersebut. Tidak narsis tuh namanya, kalau membicarakan diri sendiri? Dan membicarakan orang, itu bukan tipeku.

Cermin:

Whuuuh…

Pintu:

Lagi pula, siapa yang mau membicarakan manusia? Siapa juga yang ingin membicarakan tentangmu? Wong, sekarang kita mau perkenalan saja, koq. Iya toh…iya toh..

Marmer:

Logat kamu aneh, deh. Siapa namamu, wahai sang pintu?

Toiletta:

Ya, mari kita saling berkenalan. Kita ini satu atap dan akan hidup bersama dalam jangka waktu lama.

Lampu:

Nah, kalau sekedar berkenalan, aku mau. Mulai dari siapa?

Toiletta:

Dari kamu saja, Lampu. Siapa namamu?

Lampu:

Namaku Lightera. Warga Negara Amerika asli. Seorang atheis. Usia, no comment. Kehidupan pribadi, tertutup. Sekian.

Cermin :

Aiy, galak, nek.

Marmer, Pintu, Toiletta:

Whuuh..

Serempak memainkan bola mata dan berdehem. “Ok, senang berkenalan denganmu, Lightera,” mereka tersenyum meringgis. Dan tak berani lagi banyak komentar.

Cermin:

Perkenalkan nama saya, Mirrorya. Nama yang indah, bukan?  Hobi mencela, sekaligus memberikan kritik. Tidak ada satu pun yang terlewati untuk dinilai. Kepuasanku,  bila ada yang bercermin di depanku lebih dari dua menit. Itu seperti aku sedang menyaksikan apa yang terjadi pada para pengaca tersebut. Ya, contohnya Lightera, berbicara kepada kalian, tetapi matanya tak berhenti bercermin di depanku. Lightera itu elegan, punya taste tinggi, sombong, gaya hidupnya juga tinggi, hidupnya berwarna. Serupa dengan kesedihan yang Ia miliki, yaitu kesedihan berwarna.

Mata Lightera terbelalak. Ia menaikan dagunya. Padahal Ia takjub akan ‘penglihatan’ Mirrorya.

Lightera;

Jangan sok tahu! Hati manusia, tak ada yang tahu. Aku pun tidak peduli apa yang kau katakan, Mirrorya. Oh, ya, satu pesan untukmu, suatu tampilan luar, belum tentu sama dengan isi di dalamnya. Jadi, berhati-hatilah bicara, jika kau tidak tahu apa-apa!

Lightera menutupi dirinya. Kesal sekali dirinya. Padahal apa yang dikatakan oleh Mirrorya itu, benar adanya.

Mirrorya hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Lightera. Ia pun tidak mau kalah.

Mirrorya;

Mata itu tidak bisa dibohongi. Apalagi suatu sinar yang keluar dari diri kita. Sinar itu, terkadang hanya bias, namun bias itu berasal dari jiwa kita. Walau tercampur udara, tetap sinar aslimu, tidak akan pudar. Biar begitu aku kagum padamu, lightera. Seduka apa pun dirimu, kau tetap memberikan cahaya pada sekitarmu. Hal ini bisa membahagiakan di sekitarmu. Suatu hari nanti, kau akan temukan kebahagianmu, Lightera.

Akhirnya Mirroya mengalah dan mencoba bersikap bijak. Dia pun tidak mau memulai perkelahian di awal perkenalan ini.

Sekali lagi Lightera terkejut mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari bibir cermin itu. Lightera hanya membalas ucapan Mirroya dengan sedikit senyum, lalu kembali berada di dunianya. Ia tidak mau terlalu jauh, dekat dengan makhluk satu itu, Mirrorya, tidak juga dengan lainnya.

Toiletta mengambil alih. Suasana mulai tidak enak. Syukurlah Mirrorya tidak mengeluarkan kata-kata yang dapat mengundang perdebatan.

Toiletta;

Okay, sekarang giliranku. Namaku Toiletta. Usia 25 tahun. Tentu, warga Negara Amerika asli. America standard gitu, loh. Single dan bercita-cita menikah di tahun ini. Banyak orang bilang, aku ini kotor. Percaya atau tidak, dari kotoran manusia itu, aku bisa tahu manusia seperti apa mereka. tidak hanya itu, aku juga tempat segala ‘tumpahan-tumpahan’ lainnya. Ya, suatu saat nanti, kalian pasti mengerti maksudku.

Marmer;

Eh, namaku Marmerina. Asal dari Italy. Usia 30 tahun dan tidak ingin menikah. aku punya banyak pacar, tetapi aku lebih mencintai keluargaku, karena keluarga itu paling penting dalam hidup. Pacar itu, isitlahnya hanya bumbu kehidupan saja, sekaligus tempat bersandar bila ingin menangis. Tiap hari aku bertemu para telapak kaki. Aku bisa buat mereka hangat dan aku juga bisa buat mereka kedinginan. Jangan salah dari pijakan mereka, aku bisa tahu siapa di antara mereka yang benar-benar meraih mimpinya dan menyelesaikan masalahnya. Ah, bagiku ini suatu anugerah. Suatu kelebihan yang belum tentu manusianya tahu betul apa keinginannya. Tapi..tapi..maaf kawan, aku dilarang banyak bicara oleh nenek moyangku. Menurut nenek moyangku, terlalu banyak bicara itu tidak baik dan haram hukumnya menyibak suatu rahasia yang kita ketahui.

Mirrorya;

Tunggu dulu, lagi pula, siapa juga yang mau menyibak rahasia?

Marmerina;

Aku ini ahli suhu tubuh dan ruangan. Aku sudah bisa membaca siapa kalian sebetulnya. Sudah ya, jangan dibahas lagi. Whoamm, duh aku mulai mengantuk. Masih banyakkah yang belum memperkenalkan diri?

Pintu, segera mengangkat tangannya.

Pintu;

Saya. Saya belum memperkenalken diri. Namaku Pintuna. Berasal dari Jawa. Do you know where Jawa is?

Semua mengelengkan kepala dua kali, malah Lightera sempat mengeryitkan dahinya.

Okeh, Indonesia tahu?

Mereka mengelengkan kepala sekali lagi.

Bali..ya Bali…Jawa itu dekat dengan Bali. Jawa dan Bali terletak di Indonesia.

Toiletta;

Oh, Bali. Ya, siapa yang tidak kenal Bali. Jadi, kamu dari Bali?

Pintuna;

Bukan. Wah susah tenan yah jelasinnya. Ya, wuis, sekarep kalian sajalah. Aku ulangin lagi ya. Namaku Pintuna. Aku ini berasal dari Jepara, Jawa. Usia, lupa, ndak pernah ngitung, pokoknya banyak. Maaf kalau aksen aku rada aneh, maklum dari kampung. Untungnya, bos aku, orang bule. Sejak kecil dia, selalu bicara English sama aku, jadi aku lumayan jagolah..cas..cis…cus..Jika tidak, aku bisa harus belajar English dulu dan harus ikut Toefl, ya?

Seisi ruangan tertawa keras, “Hahahahahaha…”

Mirrorya;

Kamu ini lucu juga ya. Lucu dan lugu.

Pintuna;

Lugu?… terserah kalian menilai aku. Wong aku hanya berupa pintu, kok. Mana bisa protes?

Semua tertawa keras. Sebaliknya Pintuna kembali mengantuk.

Seharusnya aku tidak ngantuk. Wong, Seharusnya aku lagi merasakan jet lag. Jam segini di negaraku, matahari lagi sengit-sengitnya.

Toiletta;

Sorry, aku potong. Aku perhatikan, kau sering mengucapkan, ‘Wong’, apa itu maksudnya?

Pintuna;

Hah? Wah repot ini aku jelasinnya. E, itu hanya penghias saja. Ya pemanis kalimat. Wah, susah aku jabarinnya. Kapan-kapan aja,ya? Maaf, saya masih cape. Terima kasih untuk perkenalannya. Senang mengenal kalian semua.

Jam dinding;

Tidurlah. Sekarang pukul 10 malam. Sebaiknya kalian semua tidur karena esok hari, pekerjaan kita masih banyak. Bagi yang belum memperkenalkan diri, sebutkan nama kalian saja, kita akan lama bersama, jadi kita akan saling mengenal. Bagaimana, setuju?

Pintuna:

Tunggu sebelum aku merem, aku mau tanya, “Jam, kok bisa kamu nggak tidur-tidur? Apa nggak pernah merasa lelah?

Jam dinding;

Jika aku tidur, maka dunia akan tertidur selamanya.

Pintuna;

I see…whoaaam … bodoh ah,” kata Pintuna dalam hati.

Beberapa detik kemudian, Pintuna tertidur. Yang belum memperkenalkan diri, mereka mengikuti saran Jam Dinding-hanya menyebutkan nama. Setelah itu, tanpa diaba-aba, mereka memejamkan mata. Beristirahat. Walau, kota ini tidak pernah beristirahat. Yang bernyawa dan yang tidak bernyawa masih banyak berseliweran di luar sana.  “Then turn off,” bisik ruangan.

BAB    III         FIRST DAY

Berbalut piyama bermotif garis. Sarah mengulam mimpi yang entah apa isi mimpinya. Dia tampak nyenyak sekali dan enggan terbangun. Cuaca di luar sana tak jauh beda dari kemarin, masih dingin, tetapi tak tahu kenapa matahari datang menyelinap. Korden pintu beranda terbuka lebar, siapa yang membukanya? Siapa lagi kalau bukan Rascal kucing kesayangan Sarah. Tak heran matahari bisa masuk begitu saja. Sinarnya langsung menyentuh pipi Sarah. Maklum saja posisi tempat tidur Sarah langsung menghadap pintu beranda. Sengaja didesain seperti itu. Sengaja pula buat musim panas, membiarkan pintu terbuka agar angin dapat masuk. Tetapi sekarang musim dingin, memang pintu tertutup rapat, namun matahari tidak pernah absen mengusik pipi Sarah. Anehnya hari ini Sarah tidak terganggu dengan sinar matahari. Dia malah masih asyik bermimpi. Sampai waktu tepat menunjukan 07.00 alarm jam berbunyi kencang. ..Kring…Kring..Kring…

Sarah yang masih memeluk bantal segera terbangun tubuhnya, lalu meraih jam alarm dan terjatuh di lantai. Tubuh dan alarm, dua-duanya terjatuh. …Bukkk…

Sarah meringgis. Hidungnya menabrak lantai kayu. “Alarm sialan!” kemudian Sarah mencari-cari di mana alarm itu berada. Tubuhnya membungkuk dan dia melihat alarm itu terjatuh di samping meja. Sarah melihat ke arah jarum jam, “What, baru jam 7, perasaan semalam aku mengatur waktu 07.30.. Oh Noo .. alarm brengsek!”

Sarah tidak mau rugi waktu tidurnya kurang setengah jam, jadi dia kembali mengatur alarm dan kembali ke singasana . “Setengah jam yang tidak boleh disia-siakan,” kepala Sarah menempel ke bantal.

“Cuit..cuit….cuit…” seekor burung merpati putih bersiul seraya mematuk kepalanya ke kaca pintu beranda…Tuk…Tuk…Cuit…Cuit..

Mata kanan Sarah terbuka mendengar suara itu, “Oh Sabrina, masih setengah jam lagi.”

Burung merpati itu terus mematuk dan cecuit seperti memaksa Sarah untuk segera bangkit.

Kini setengah badan Sarah bangkit, “Sabrina, aku masih ngantuk!”

Kepala mungil Sabrina bergerak ke sebelah kanan, seperti mengajak Sarah keluar dari kamar.

“Ada apa Sabrina?” sarah kesal, namun Sabrina tidak berubah, ia tetap cecuit memaksa Sarah untuk keluar. “ Oh noo..” dan Sarah akhirnya mengikuti petunjuk Sabrina.

*****

Pukul 09.30, opening Starlight Point Advertising, Lantai 19

Orang-orang sudah banyak berdatangan. Para staff sibuk mengatur ini-itu. Biar pun sibuk tetapi wajah mereka segar-segar dan penuh semangat baru. Mungkin tepatnya harapan baru. Ya bagi sang pemilik advertising juga para karyawannya. Rata-rata usia mereka 20 s/d 35 tahun. Kebanyakan juga jebolan dari universitas ngetop di Amrik dan terlihat pintar-pintar. Tidak ada satu pun dari mereka terlihat tidak antusias.

Soal penampilan, tentu mereka menyempatkan diri pergi ke toilet. Mendandani diri mereka dan hasilnya wajib cantik menawan. Ruang toilet lantai 19 jadi penuh. Tetapi sebelum mereka berdatangan, ruang toilet itu sudah lebih dahulu ribut.

 

Pukul  08.00, toilet lantai 19

“Selamat Pagiiiiiiiiii …. Ayo kita mempersiapkan diri dulu sebelum mereka datang,” teriak Mirrorya penuh semangat.

“Aduh, mengapa sih selalu teriak-teriak, nggak bisa  pelan   bicara, ya,” Pintuna terganggu suara Mirrorya.

“Ini bukan teriak, tapi memang kebiasaan kami di sini seperti ini. Kamu harus menyesuaikan diri. Mungkin di negerimu tidak terbiasa suara keras seperti ini,” ucap Mirrorya kalem.

“Wong orang Batak suaranya lebih keras daripada kamu, tetapi teriakan mereka tidak selenking yang koe punya,” Pintuna mengerutu sendiri.

Mirrorya tidak memperdulikan tanggapan Pintuna. Dia harus membersihkan tubuh secepatnya. Tidak lupa mengunakan air bening penuh wewangian sabun kesukaannya. Setelah itu, dia harus mengeringkan badannya dengan bahan handuk berkualitas tinggi. Tubuhnya pun wajib disemprot parfum merk terkenal. Perlu make up-kah? Ah, tidak usah. Cukup bedak dan lipstik tipis. Done. Tidak sisiran? Perlu dung. Nanti orang-orang  bisa tidak percaya diri, jika Mirrorya tidak rapi dan tampil bersih.

Lain halnya Toiletta, dia begitu meresapi saat menghilangkan daki-daki di tubuhnya. Ketika membasuh tubuh, wajib bagi Toiletta menyanyikan lagu kebangsaan hasil karya dirinyasendiri.

Begini liriknya, “Selamat pagi Amerika, negeri dari segala mimpi, jika kau punya mimpi, di sinilah tempatnya, Selamat pagi New York, kota dari segala mimpi, jika kau tak berani bermimpi, dan tak berani mewujudkannya, jangan tinggal di kota ini, karena kota ini akan menenggelamkanmu. Selamat pagi New Yorker, manusia dari segala manusia penuh mimpi, jika kau tak cepat, dan tak gunakan otakmu, maka habislah kamu.”

Tentu parfum berbau segar wajib dituangkan ke tubuhnya. Dan kebersihan itu nomor satu, maklumilah jika Toiletta benar-benar teliti membersihkan badannya.

Pintuna dengan sosok kemayunya, mengkilatkan dirinya penuh professional tinggi. Pintuna kemayu? Yup, jangan salah di balik kokoh tubuhnya, dia mempunyai gaya dan sifat kemayu. Biar begitu dia paling apik di antara mereka di ruang kamar kecil ini. Soal kebersihan dan wangi tidak perlu dipertanyakan lagi. Dia tampil begitu elegan dan kuat, ya seperti wanita-wanita Jawa lainnya. Elegan, kuat, pintar, bekerja keras tapi tidak meninggalkan budaya timurnya. Menurutnya, menjadi wanita itu harus kuat dan tegar, walau sikap kita kemayu. Rasanya bukan kemayu, tetapi penuh kelembutan. Pintuna kerap protes mengenai hal ini. Tapi dia tidak peduli disebut seperti itu.

Marmerina, wanita Italy yang tidak pernah lupa keluarga besar dan kerabatnya. Selesai  mendandani dirinya, tanpa diminta, dia membantu yang lain untuk menjadi cantik. Dari sanalah tubuhnya, terlihat tambah mengkilau. Karena ini pagi hari, dia pun tidak mau menjadi dingin, dia ingin hangat bagi para telapak kaki siapapun juga. Menyapa mereka dengan senyum terindah dan kehangatan. Parfum yang melekat di dirinya sangat semerbak dan mengundang manusia untuk bertahan lama berdiri di atas tubuhnya.

Tidak diragukan Lightera berdandan tercantik dan paling keren. Dia tampak cantik sekali. Kedipan matanya merayu mata manusia untuk menggaguminya. Kerlap kerlip sinarnya bergerak lincah dan sempurna. Menurut Lightera, hal ini wajib dipupuk oleh wanita sedunia: bergerak lincah dan menjadi sempurna. Walau dia pun menyadari tidak ada yang sempurna di dunia ini, namun setidaknya wanita itu harus mencoba untuk menjadi sempurna. Sempurna buat orang-orang di sekitarnya dan tentu buat dirinya sendiri.

Semua alat kecantikan dan alat mandi disingkirkan. Penampilan semuanya sudah ‘kinclong’, cakep, bersih dan harum. Jika ada yang mencium mereka saat ini, ditanggung bibirnya tidak akan lepas dari bagian tubuh yang dicium. Dipastikan juga bakal addict mencium mereka dan jangan menangis bila kau tidak menemukan obat penawarnya. Huaha…berlebihan tidak sih, Toiletta menilai penampilan teman-temannya ini. Ah, tapi mereka memang cantik-cantik dan ahli sekali dalam berias diri. Dirinya pun jadi iri, Toiletta juga kagum pada Pintuna. Gaya dandannya begitu anggun. Aiy cantik ya wanita timur itu. Padahal Pintuna berasal dari negeri yang baru dia dengar namanya. Endosia? Endonesia? Oh itulah pokoknya.

Pritttt..Prittt…prittt…

“Ya, sudah siap semua di tempat masing-masing. Ingat ya, ini hari pertama. Kita tidak boleh gagal. Satu lagi, jangan ada yang bicara atau keceplosan. Ini ada hukumannnya nanti bila dilanggar,” ucap Toileeta tegas.

“Okay,” sahut mereka serentak.

 

Pukul 09.45 di Toilet lantai 19.

Sejak pukul 09.00 tadi hingga sekarang, ruang toilet di lantai 19 tidak pernah sepi. Pastinya semua perempuan. Lelaki? Pastilah di ruang sebelah. Ruang toilet sebelah yang entah bentuknya seperti apa. Bisa jadi mirip dengan ruang kamar kecil ini, bisa jadi juga tidak. Toilette dan kawan-kawan tidak menghitung berapa jumlah wanita yang masuk di kamar kecil. Mereka datang bergerombol, tetapi ada juga yang muncul sendiri. Hal pertama yang mereka lakukan: mengaca.

Hal kedua: ke toilet.

Hal ketiga: kembali berkaca.

Hal keempat: nah ini, ada yang masuk ke ruang ganti. Ada juga yang masuk ke ruang rokok. Dan ada setiap ruangan diperiksa, wajar mereka kali pertama memasuki ruang toilet yang lengkap ini. Lengkap? Tidak juga. Karena di sini tidak ada ruang kecil untuk menjual pakaian wanita atau alat kecantikan wanita. Jika ruangan ini diberi etalase kebutuhan perempuan, pasti bakal ramai dikunjungi. Kalau begini, namanya bukan toilet, tapi mall, bukankah begitu? Satu lagi yang bakal sering ditenggok oleh perempuan, yaitu; kamar khusus untuk meramal. Hoho, ini bisa menghasilkan uang banyak.

Tapi tunggu dulu, sekali lagi ini hanya ruang toilet, bagaimana jika kita bicarakan saja tentang perempuan-perempuan yang hinggap di toilet ini. Beberapa dari mereka, ada yang menarik perhatian para penghuni ruang kamar kecil ini. Perempuan bertubuh gemuk yang senang sekali bicara dan sepertinya dia banyak disukai rekan-rekan kantornya. Dia tidak cantik, etnis China, berat badan kira-kira 95 kg atau 100 kali, ya?

Namun cara dia berpakaian modis sekali. Lihat saja, biar badannya gemuk, dia tidak segan-segan mengenakan rok di bawah dengkul. Atasannya kaos tebal berbentuk V dengan lengan pendek dan hanya memakai sepatu boots-tinggi semata kaki. Dia kerap mengedipkan kedua matanya. Ternyata oh ternyata, bulu matanya berlapis dua, tidak heran terlihat lentik dan cantik. Ups, apa tidak salah dengar, salah satu temannya memanggil dia, “Baby”. What … apakah namanya memang asli Baby atau hanya teman-temannya saja menjuluki dia ‘Baby’. Wow, benar-benar nama yang sepadan.

Okelah dia bernama Baby. Dan mengapa dia yang paling lama berdiri di depan cermin? Tidak hanya itu, dia juga nge-blow rambut sebahunya menjadi vertikal. Soal dandan bolehlah dia. Soal bentuk tubuh? Maklumi, manusia itu tidak ada yang sempurna dan sekali lagi manusia itu beraneka ragam. Yup, oke maklum!. Berbadan besar pun, bukan badak, bukan gerobak, bukan pula kulkas, tapi manusia. Manusia yang diberi anugerah agar dapat mudah terlihat oleh manusia lainnya.

Ada seorang wanita yang keliatannya baru datang jam segini. Mukanya masih pucat. Rambutnya masih awut-awutan. Pakaian yang dikenakan masih baju dingin panjang. Dia hanya menyapa sebentar teman-temanya di tioilet ini,”Hai everybody,” lalu membuka pintu ruang toilet dengan terburu-buru. Toilette dan Pintuna menatap wanita itu dari ubun kepala sampai ke tumit sepatu karena mau lihat jari kaki juga tidak bisa, ketutup sepatulah. Bagi mereka berdua, wanita inilah yang paling cuek, tetapi tidak tahu juga. Bisa saja dia kebelet pipis, setelah itu baru mulai dandan atau mungkin dia bangun terlambat sehingga belum berdandan. Wanita itu segera membuka baju dinginnya. Dia tutup penutup toilet dan duduk di atasnya seraya membuka tas. Tangannya bergetar saat mengambil obat dan minuman. Ditenggaknya pil dan botol minuman itu. Glek… . Ketika pil itu masuk ke mulutnya, kepala wanita itu menunduk lama. Tidak lama juga sih, sekitar 3 menit, kemudian dia tengadahkan kepalanya. Toilette dan Pintuna bengong memandangi wanita itu. Mungkin mereka berdua belum pernah lihat orang minum obat atau pil sedemikian gugupnya. Ya gugup, itu kata yang tepat buat wanita ini. Tak lama dia berdiri, mengambil tissue, menyeka keringat di pipinya. Ya, wanita itu berkeringatan bahkan bajunya sampai basah. Sepertinya wanita itu sakit. Dia tidak juga mengganti bajunya. Jadi hanya kemeja, jeans, dan sepatu boots. Itu saja? Toilette dan Pintuna mengangkat bahu mereka. wanita itu keluar dari toilet,”Aku duluan, ya guys,” sambil melangkah keluar. “Okay Viviene,” jawab salah satu dari temannya. Jadi wanita itu tidak memoles wajahnya dengan bedak ataupun lipstik? O..o…o…Viviene? Nama yang cantik. Viviene, kamu tidak penyuka sesama jenis, kan?

Suit … suit .. suit. Ada seorang wanita berkaki panjang. Rambutnya juga panjang. Semoga lidahnya tidak panjang juga. Ahay, dia bagaikan bidadari turun dari langit. Bentuk tubuhnya aduhai, terlihat jelas dengan gaun yang dikenakannya, membentuk  lekuk tubuhnya. Saat berjalan, langkah kakinya menyilang dan melangkah serasa mengikuti ketukan nada. Gaunnya berwarna merah, persis warna lipstik di bibirnya. Dia geraikan rambut panjang sepinggangnya. Hitam pekat, tebal dan terawat. Tentu tidak satu pun ketombe jatuh  ke lantai. “Wah  ruang kamar kecil ini ada ruang rokoknya. Great !” membuka pintu ruang rokok. Mencoba bersandar ke dinding dan menyalakan sebatang rokok. Satu tarik. Dua tarik. Tiga tarik isapan rokok,” Wow, nyaman merokok di sini. “ “Karina, kau harus tutup pintu kalau merokok,” suruh salah satu perempuan di ruangan ini. Dan sepertinya perempuan itu salah satu bos dari Karina, karena tak lama dia mematikan rokok,kemudian keluar. “Tenang Bos, aku hanya mencoba sebentar.” Dia pun berjalan ke ruang toilet. Dia tutup penutup toilet seperti Viviene tadi. Dia mengambil obat salep dari tas mungilnya. Dia usapkan salep itu ke perut, paha dan lututnya. Buat apa? O, banyak bekas goresan luka. Masih segar kayaknya. Maksudnya luka yang masih baru. Olala..wanita secantik itu terkena penganiayaan? sungguh keterlaluan yang melakukannya. Who did it to you, Karina?

“Kau bukan lelaki! Aku cukup tahu siapa dirimu. Aku bersumpah kau tidak akan pernah bahagia bersama wanita siapa pun!” Suaranya memang berbisik, tapi kata-kata yang dilontarkan penuh makian. Olala, siapa lagi wanita ini. Baru saja Toiletta melihat Karina korban kekerasan, kini di ruang sebelah, Toiletta mendengar kekesalan seorang wanita yang ditumpahkan melalui voice mail. Jadi dia berbicara bukan dengan seorang pria? Oh Nooo…Toiletta menepuk jidadnya.

Lyra. Ya, itu namanya. Sering disebut oleh teman-temannya. Dia juga sering bolak-balik dari ruang ganti, hanya untuk memastikan apakah baju yang dikenakannya sudah bagus atau tidak. Satu pertanyaan. Satu baju. Namun dilakukan berkali-kali.  Jika dilihat dari sosoknya,  Lyra  bertubuh mungil, manis, murah senyum dan bawel. “Bawel yang gemesin, walau terkadang bikin sebel orang,” ucap temannya.

Pada akhirnya pun dia masuk toilet juga. Dia benar-benar pipis. Pipis sambil tersenyum sendiri. Entah apa yang dipikirkan. Bisa dibilang, gurat wajahnya, bahagia sekali. Dia mengintip tas besarnya. Mengapa para perempuan di sini senang melirik isi tas. “Ah, pakai ntar saja ah. Sayang kalau dipakai sekarang,” bisik Lyra seraya menutup tas kembali.

Masih banyak lagi yang tertangkap mata oleh Toiletta dan penghuni lainnya. Satu per satu punya keunikan tersendiri. Unik juga bikin penasaran. Sebetulnya siapa sih mereka itu? Pastinya mereka orang pintar karena tidak mudah masuk ke perusahaan yang sudah punya nama besar ini. Orang-orang ini, nantinya  bakal bertemu di ruang kamar kecil ini. Semua penghuni toilet ini belum pernah terlibat langsung dengan orang-orang dari advertising. Mungkin bagi Lightera hal ini  tidak asing. Tak heran, dia lebih banyak diam dan tak peduli. Sepertinya Lightera telah kenyang terlibat bersama orang-orang dari entertainment. Tingkah laku Lightera saja bak seorang  artis dan tidak mau diganggu.

Tinggal satu orang yang belum terilhat ujung tanduknya. Satu perempuan yang mendesain seluruh ruang lantai 19.

 

to be continued 

First Draft, 2007.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s